Waktu penggunaan media sosial telah meningkat dari 90 menit per hari di tahun 2012 menjadi 143 menit per hari di tahun 2024. Hanya dengan mengklik satu tombol, media sosial memungkinkan pengguna untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti terhubung dengan orang lain, membangun hubungan, dan membangun reputasi. Namun, dengan adanya situs-situs seperti Facebook dan 1,5 miliar pengguna aktifnya, telah terjadi peningkatan kekhawatiran akan media sosial dan sifat adiktifnya terhadap remaja, dewasa muda, dan bahkan orang dewasa yang sudah bekerja.
Pertanyaan yang harus kita pertimbangkan sekarang adalah: Mengapa media sosial membuat ketagihan, dan bagaimana media sosial bisa membuat ketagihan?
Motivasi di Balik Penggunaan Media Sosial

Ada dua pendorong utama penggunaan media sosial:
- Untuk terhubung dengan orang lain;
- Mengelola kesan yang mereka berikan pada orang lain
Motivasi ini sudah ada jauh sebelum media sosial dipopulerkan. Media sosial memanfaatkan kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan untuk merasa terhubung dan menjadi bagian dari kelompok sosial. Hal ini karena, sebagai kelanjutan evolusi manusia, menjadi bagian dari sebuah kelompok membantu manusia untuk tetap aman dari bahaya dan menemukan pasangan, yang kemudian meningkatkan peluang mereka untuk bertahan hidup dan memiliki keturunan. Dengan mengelola kesan yang kita berikan kepada orang lain, kita akan lebih mudah diterima oleh kelompok, dan lebih jauh lagi, lebih mudah untuk bertahan hidup dan berkembang. Penggunaan media sosial juga dapat menciptakan hubungan yang kuat dengan orang lain, yang meningkatkan kesejahteraan psikologis dan dapat membantu mengurangi risiko kesepian dan depresi.
Media sosial telah memberikan kita platform untuk tidak hanya terhubung dengan orang lain, tetapi juga membangun citra positif di antara lingkaran sosial kita melalui strategi-strategi sebagai berikut:
- Pengguna menyiarkan informasi
- Pengguna menerima umpan balik tentang informasi yang disiarkan
- Pengguna mengamati informasi yang disiarkan oleh orang lain
- Pengguna memberikan umpan balik pada postingan orang lain
- Pengguna terlibat dalam perbandingan sosial, dengan membandingkan siaran mereka sendiri dan umpan balik kepada orang lain.
Melalui perilaku-perilaku utama inilah kita dapat memenuhi kebutuhan sosial dasar kita. Namun, meskipun motivasi-motivasi ini dapat memberi kita gambaran yang baik tentang mengapa kita berpartisipasi dalam media sosial, pertanyaan yang tepat untuk diajukan sekarang adalah, bagaimana media sosial berinteraksi dengan otak kita dan mengapa kita terus kembali ke media sosial?
Media Sosial dan Otak
Seperti halnya segala sesuatu, pertama-tama kita harus memulai dengan otak dan jutaan jaringan saraf yang berinteraksi satu sama lain untuk membentuk otak kita. Sebagian besar alasan mengapa kita terus menggunakan media sosial berkaitan dengan sistem penghargaan dalam otak kita. Dengan notifikasi yang terus menerus mengenai komentar, tag, dan like baru, media sosial memberi pengguna pasokan hadiah sosial yang konstan yang pada gilirannya, mengaktifkan sistem penghargaan otak kita dan membuat kita terus kembali.
Pemain utama dalam sistem penghargaan kita adalah korteks prefrontal ventromedial (VMPFC), ventral striatum, dan area tegmental ventral. Ketika kita menerima umpan balik, atau dalam hal ini, 'like' di platform seperti Facebook dan Instagram, jaringan ini diaktifkan. Neuron di area penghasil dopamin pun turut beraksi, meningkatkan kadar dopamin dalam otak. Area penghargaan yang sama di otak diaktifkan ketika menggunakan zat adiktif, menyoroti betapa adiktifnya media sosial, terutama ketika digunakan secara berlebihan.
Sekarang bayangkan ini - ketika kamu mendapatkan notifikasi, seperti dari ‘like’ atau ‘mention’, yang terjadi adalah otak kamu menerima aliran dopamin dan mengirimkannya ke jalur reward, yang menyebabkan perasaan senang. Penelitian menunjukkan bahwa menerima banyak 'like' di Facebook mengaktifkan lebih banyak area otak dibandingkan menerima sedikit 'like'. Menariknya, ketika memberikan 'like' di situs web media sosial yang sama, area otak yang sama juga diaktifkan. Hasil ini menunjukkan bahwa menerima dan memberikan umpan balik kepada orang lain tetap penting secara evolusioner, seperti yang terlihat melalui aktivasi sistem penghargaan. Aliran penerimaan dan pemberian umpan balik positif yang terus menerus ini telah mengubah otak kita untuk menginginkan like, share, retweet, dan reaksi emotikon.

Penggunaan Sehari-hari vs Kecanduan
Penggunaan media sosial sehari-hari awalnya dimulai sebagai kebiasaan, namun, meningkatnya ketergantungan dan keterlibatan dengan platform ini dapat menyebabkan penggunaan sehari-hari berubah menjadi kecanduan. Dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada media sosial, bagaimana hal ini bisa terjadi? Para ahli di seluruh dunia mengaitkan kecanduan media sosial dengan kriteria kecanduan tertentu yang biasanya dikaitkan dengan penyalahgunaan zat dengan urutan sebagai berikut:
- Penonjolan: Disibukkan oleh media sosial,
- Modifikasi suasana hati: Menggunakan media sosial untuk mengurangi perasaan negatif,
- Toleransi atau mengidam: Secara bertahap menggunakan media sosial semakin sering untuk mendapatkan perasaan senang yang sama darinya,
- Penarikan diri: Menderita kesusahan jika dilarang menggunakan media sosial,
- Konflik atau gangguan fungsional: Mengorbankan kewajiban lain dan/atau menyebabkan kerusakan pada area kehidupan penting lainnya karena penggunaan media sosial, dan
- Kambuh atau kehilangan kendali: Berkeinginan atau berusaha mengendalikan penggunaan media sosial tanpa hasil.
Meskipun penggunaan media sosial dapat menjadi sebuah kebiasaan, tidak semua kebiasaan berkembang menjadi kecanduan. Beberapa orang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kecanduan media sosial karena kondisi atau gejala yang sudah ada sebelumnya, seperti depresi berat, rendah diri, dan gangguan kepribadian narsistik, di antaranya. Oleh karena itu, penting untuk mengenali faktor risiko kecanduan media sosial dan tetap waspada terhadap penggunaan media sosial kita dan orang lain.