Ketika kita memikirkan kembali perawatan yang diberikan untuk seorang dengan depresi, siapa menurutmu berada pada garis depan perawatan? Apakah menurutmu psikolog yang ditemui pasien setidaknya sekali seminggu, atau apakah keluarga, teman dekat, dan orang lain yang paling dekat dengan individu dengan depresi? Banyak yang menganggap psikolog sebagai orang paling penting untuk individu dengan depresi; namun, mereka yang paling dekat dengan individu depresi sebenarnya berada di garis depan perawatan. Penelitian menunjukkan bahwa kekuatan dan kualitas hubungan antara keluarga dan teman secara signifikan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan individu yang menderita depresi (Montgomery et al., 1987). Dengan mengingat caregivers berada di garis depan perawatan dan bagaimana depresi dapat secara substansial mempengaruhi dinamika hubungan dekat, pernahkan kita bertanya-tanya intensitas dampak emosional yang dapat dirasakan oleh caregivers?
Penelitian oleh BMC Public Health (2010) menunjukkan bahwa kesejahteraan individu terdampak negatif saat pasangan romantisnya didiagnosis dengan depresi. Selain itu, suami atau istri dari penderita depresi lebih cenderung untuk memperlihatkan tanda-tanda kecemasan dan depresi itu sendiri.
Diciptakan oleh Anne Scheiffield (1999), Depression Fallout didefinisikan sebagai dampak emosional yang dialami oleh orang yang tinggal dekat dengan orang depresi. Ini merupakan respon yang tidak diharapkan dari depresi orang lain, yang dimulai dengan kebingungan terhadap penyakit orang lain. Tidak sadar akan akar penyebab depresi, individu yang menderita dari depression fallout mulai menyalahkan diri sendiri. Depression fallout tidak membeda-bedakan, apapun hubungan dengan individu yang mengalami depresi, baik itu pasangan, orang tua, kekasih, atau anak, pengalaman ini meninggalkan dampak negatifnya pada orang-orang yang tinggal dekat dengan penyakit tersebut.
“Kebanyakan cerita tentang depresi dimulai dengan sebuah misteri. Mengapa seseorang yang kamu cintai menjadi lebih jauh, seolah-olah hubungan di antara kalian telah terputus? Mengapa dia begitu jauh dan tidak puas, begitu lesu tetapi menuntut? Kamu menganggap beberapa kesalahan di pihak kamu, tetapi ketika kamu bertanya ada apa, kamu ditolak. Jauh dari memperbaiki situasi, kamu akan segera melihat diri kamu berperan sebagai penyusup dan musuh. Kamu mencari penyebab dan penjelasannya." (Sheffield, 1999)
Perilaku disfungsional yang diamati secara tiba-tiba yang tidak hilang seiring waktu dan kebutuhan akan dukungan tambahan membuat caregivers bingung, cemas, dan takut. Caregivers sering merasakan tekanan untuk menghentikan depresi agar tidak memburuk, sambil mengalami kebencian karena didorong secara emosional oleh pasien. Selain itu, caregivers menjadi frustasi dengan ketidakberdayaan pasien untuk sembuh.
Pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri seperti “Aku salah apa?” “Apa yang dapat aku lakukan untuk memperbaiki ini?” “Apa aku tidak cukup dalam hubungan ini?” adalah biasa bagi orang dalam hubungan dekat dengan penderita depresi. Caregivers akan sering mulai menginternalisasi emosi berbahaya karena ambiguitas sumber depresi dan disfungsi yang berkembang dalam hubungan mereka dengan individu yang depresi.
Demoralisasi adalah aspek sentral dari depression fallout. Ini merampas semangat, keberanian, dan disiplin orang tersebut; menghancurkan moral mereka, dan melemparkan mereka ke dalam kekacauan dan kebingungan. Selama tahap ini, caregivers akan mengalami penurunan kepercayaan diri dan akan merasa bersalah karena kesal dan kelelahan dengan hubungan yang disfungsional.
Garis pemisah antara demoralisasi dan marah kabur – sering kali kedua tahap ini menyatu, lalu terpisah, kemudian bersatu kembali.
Ada perbedaan antara pemisahan dan pengabaian. Sering kali, mereka yang dekat dengan penderita depresi merasa mereka akan lebih meninggalkan orang yang mereka cintai jika mereka menjauhkan diri. Keputusan untuk tetap atau meninggalkan hubungan selalu disertai dengan rasa bersalah. “Dia sakit, jadi aku harus tinggal” adalah aksioma depression fallout. Untuk itu, caregivers akan sering menyakiti kesehatan mental mereka sendiri dengan tidak membiarkan diri mereka sendiri untuk berpisah dari individu depresi saat mereka membutuhkannya.
Caregivers yang sungguh peduli dengan individu dengan depresi dan bersedia menyesuaikan diri dengan hubungan mereka akan menemukan cara untuk membuat situasi menjadi lebih baik. Penelitian oleh Muscrift & Bowl (2000) menyarankan dinamika hubungan yang lebih baik diikuti setelah caregivers pertama kali bertemu dengan depresi, yang biasanya ditandai dengan depression fallout. Seiring waktu, kehadiran depresi dianggap bertahan dan ini mengarahkan caregivers untuk menciptakan normalitas baru dalam hubungan mereka dengan penderita depresi dengan mengintegrasikan aspek dari depresi ke dalam hubungan mereka. Suatu stabilitas tercapai, semua pihak dalam dinamika hubungan perlahan menerima kenyataan bahwa depresi adalah sesuatu yang kadang-kadang pergi dan kembali, dan peran sebagai seorang caregivers mungkin tetap ada.
Helmer, J. (2011). Relationships and The Ripple Effect of Depression. Hope to Cope. https://www.hopetocope.com/relationships-the-ripple-effect-of-depression/
Montgomery, R. J., Gonyea, J. G., & Hooyman, N. R. (1985). Caregiving and the experience of subjective and objective burden. Family relations, 19-26.
Muscroft, J., & Bowl, R. (2000). The impact of depression on caregivers and other family members: Implications for professional support. Counselling Psychology Quarterly, 13(1), 117-134.
Sheffield, A. (1999). How you can survive when they're depressed: living and coping with depression fallout. Harmony.
Sheffield, A. (2009). Depression fallout: The impact of depression