Foto oleh dokumenter The Secret Life of Lele Pons
Kita sering mendengar Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) sebagai bahan tertawaan. Berapa kali kita mendengar orang-orang mengatakan, "Wow OCD dalam diriku tertrigger" atau "Aku OCD banget sama PR tadi malam"? Cara pandang seperti itu terhadap OCD telah dilakukan banyak orang, sehingga orang-orang yang benar-benar mengidap OCD seringkali tidak dianggap serius. OCD, seperti yang didefinisikan oleh DSM-5, melibatkan pikiran yang tidak diinginkan atau sesuatu yang disebut sebagai obsesi. Biasanya, penderita akan mengalami tindakan kompulsif untuk menekan atau menetralisir obsesi yang mereka miliki. Tindakan kompulsif termasuk perilaku berulang seperti cuci tangan berulang-ulang secara berlebihan atau berhitung dan mengulang kata-kata secara diam-diam.
Penderita percaya bahwa dengan melakukan tindakan kompulsif ini, mereka akan mencegah pikiran buruk menjadi kenyataan dan kecemasan mereka akan berkurang. Memiliki obsesi dan perasaan untuk perlu melakukan tindakan kompulsif dapat mempengaruhi daya fungsi seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan serius.
Dalam series dokumenternya, The Secret Life of Lele Pons, bintang sosial media, Lele Pons mengungkapkan bahwa ia telah berjuang melawan OCD sejak kecil, ia menyebut OCD sebagai “deepest darkest secret.” Pons dan keluarganya kemudian bercerita bagaimana gangguan yang dialami Lele mempengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga. Sebelum menjalani perawatan, ia tidak bisa melakukan hal-hal dasar dan sederhana seperti keluar dari mobil, makan, tidur, serta mengalami serangan panik ketika berjalan keluar pintu. "OCD yang kualami sangat sangat kuat sehingga membuatku melakukan hal-hal yang tidak ingin kulakukan", Lele menjelaskan. Ia menjelaskan bahwa perjuangannya dengan kondisi kesehatan mental yang ia alami datang tiba-tiba sehingga menyebabkan syok dan mengubah keadaan secara drastis. Penting untuk diingat bahwa seseorang mungkin mengalami kondisi ini dan berjuang untuk melewatinya tanpa kita ketahui.
Lele juga mengatakan bahwa ia takut untuk berbagi cerita soal kesehatan mentalnya karena stigma yang ada. Ketika seseorang mengalami gangguan kesehatan mental, seseorang tersebut cenderung merasa malu dan terhina sehingga menghindari perawatan yang kemudian menyebabkan penurunan fungsi dan kualitas hidup. Kami menaruh hormat yang besar kepada Lele karena ia telah membawa awareness tentang gangguan yang ia hadapi serta berbagi pengalamannya dengan Exposure Therapy. Dengan melakukan hal tersebut, ia telah menolong mereka yang mengalami Gangguan kesehatan mental yang sama serta menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental tetap bisa memiliki hubungan dengan orang lain serta karir yang sukses.
Mengurangi sikap dan kebiasaan yang membangun stigma buruk sangat penting karena dengan begitu banyak orang akan merasa memiliki dukungan untuk mencari pertolongan apabila mereka merasa mengalami gangguan kesehatan mental. Mereka juga akan merasa tidak harus terisolasi karena kondisi kesehatan mental yang mereka miliki. Keluarga dan teman-teman Lele merupakan inspirasi untuk kita bersikap suportif dan tidak judgemental sehingga jalan untuk kesembuhan dan kesuksesan terbuka lebih lebar.
Untuk tahu lebih banyak mengenai bagaimana stigma mempengaruhi mereka yang berjuang dengan kondisi kesehatan mental, klik disini.
Akyurek, G., Kubra, S.S., Leyla, K., & Temucin, K. (2019). Stigma in Obsessive Compulsive Disorder. Anxiety Disorders- From Childhood to Adulthood. DOI: 10.5772/intechopen.83642