Dalam sebagian besar waktu di hidupku, aku tak pernah menyadari pandangan dan cara pikirku mengenai maskulinitas dapat memberikan efek negatif padaku. Pada saat itu, cara pikirku mengenai maskulinitas tidaklah baik. Kalau kamu memintaku penjelasanku, aku hanya berpikir sebatas skala “seseorang yang tak bisa memasang lampu hingga seorang lelaki berotot dan berjanggut yang tinggal di dalam sebuah pondok kayu yang ia buat dengan tangannya sendiri”. Bagiku, laki-laki adalah seseorang yang independen, kuat, sangat seksual, memiliki rasa harga diri yang tinggi, dapat memutuskan sesuatu, serta berperan sebagai seorang pencari nafkah yang terlalu sibuk untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak dan membersihkan rumah. Cara pandang seperti inilah yang menjadi semacam kiblat yang aku dan sebagian besar laki-laki impikan dan jadikan tujuan hidup.
Ada sebuah tekanan yang dirasakan untuk menjadi laki-laki yang telah kudeskripsikan di atas, seakan-akan hanya seperti hal itulah yang membuat seorang laki-laki benar-benar seorang yang jantan. Apabila aku tak berlagak seperti itu, aku merasa ada hal yang salah dengan diriku, yang dapat membuatku kehilangan teman dan tak akan ada perempuan yang tertarik padaku. Karena hal ini dianggap berbahaya yang dapat menyebabkan seseorang tak bisa membaur dengan lingkungan di sekitarnya dan segala konsekuensi yang mengikuti hal tersebut, aku mengikuti cara pikir tentang bagaimana seorang laki-laki harus berlagak seperti umumnya. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa dengan mengikuti hal ini, aku tak dapat menjadi diriku sendiri. Cara pikir dan ekspektasiku terhadap apa yang membuat seorang laki-laki benar-benar jantan tak mencerminkan diriku ataupun nilai-nilai dalam diriku. Aku melihat bawa ketidakcocokan ini menghentikan aku dalam mencapai potensiku sebagai seorang manusia seutuhnya, dimana aku lebih fokus terhadap menjadi seorang “laki-laki” daripada menjadi diriku sendiri.
Kesadaran ini menandai sebuah perjalanan yang panjang dan lambat yang kutempuh dalam proses mengenali diri sendiri yang bahkan masih kulakukan hingga saat ini. Proses ini menyangkut menyadari sebuah nilai yang kupegang bukanlah nilai yang sebenarnya kurasakan, yang membuatku membantah dan mengganti nilai yang sebenarnya kupegang.
Untuk sementara waktu, pada awal proses ini, aku berpikir bahwa kebanyakan dari sifat maskulin merupakan sesuatu yang buruk. Aku melihat banyak laki-laki maskulin yang suka membanggakan dirinya sendiri, tak sopan, egois, “kuat” yang sebetulnya malah lebih ke arah kasar, dan mudah marah. Laki-laki seperti ini biasanya meletakkan dirinya, cara pikirnya, dan nilai-nilai yang mereka pegang di atas orang lain. Aku tak menyukai gaya hidup seperti ini karena menurutku hal ini dapat membahayakan diri dan siapapun di sekitar mereka.
Setelah berpikir lebih dalam lagi, akhirnya aku menyadari bahwa ada banyak sifat-sifat maskulin yang bernilai lebih saat diterapkan dengan cara yang benar. Aku memutuskan untuk membentuk diriku menjadi seseorang yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai yang kupilih sendiri. Hal ini juga melibatkan beberapa nilai yang dipandang feminim yang juga ikut mengimbangi nilai-nilai yang dianggap maskulin.Salah satu nilai maskulin yang paling penting bagiku adalah kebebasan. Sifat mandiri dapat dengan mudah menjadi sesuatu yang meracuni pola pikir pada laki-laki, yang dapat mengarah kepada sifat kaku, dimana seorang laki-laki tak seharusnya menunjukkan atau membagi emosinya, menyangkal dirinya dan orang lain. Namun, apabila dilakukan dengan benar, kebebasan merupakan hal yang sangat bagus. Adalah sebuah kebebasan bagiku untuk membersihkan rumah, merawat badan dan pikiran, serta memasak makanan yang sehat bagiku. Tentu saja, hal-hal di atas pada hakikatnya bukanlah hal yang dipandang maskulin, namun merupakan hal dasar dalam proses menjadi mandiri, dan untukku, menjadi mandiri dan dapat mengurus diri sendiri merupakan tanda dari seorang yang dewasa dan cakap.
Aku berpikir bahwa tanda terbesar dari kemandirian seseorang adalah dapat berpikur dengan bebas, mempertanyakan segala ide dan ideal yang dijunjung oleh orang lain dan memiliki kekuatan untuk tidak setuju bila perlu dan berpegang teguh pada prinsip dan diri sendiri. Hal ini baru-baru saja terpikir olehku. Selama bertahun-tahun aku memiliki syal berwarna merah jambu yang sangat kusukai. Namun, aku tak pernah berani untuk memakainya di hadapan banyak orang karena aku tak ingin tampil seperti perempuan. Aku berpikir aku akan dianggap kurang jantan oleh orang-orang di sekitarku, atau bahkan dianggap gay. Ketakutan yang kualami sama sekali tak masuk akal dan mereka mencermikan pemikiran toksik terhadap nilai maskulin yang tumbuh dalam diriku. Jadi, kupakai syal itu untuk menantang pemikiran toksik tersebut. Aku merasa ditekan untuk menjadi “jantan” yang pada akhirnya aku menyadari bahwa ungkapan yang lebih kuat terhadap nilai maskulin bagiku adalah keinginanku untuk dapat menjadi bebas dan memakai syal yang kusuka tanpa peduli apa yang dipikirkan orang lain, dan tak menjadikan warna dari syal ini alasan untuk minder terhadap orientasi seksualku.
Hal di atas hanyalah sebuath contoh kecil yang membuktikan pada akhirnya hal-hal tersebut bukanlah hal yang besar. Walau begitu, masih banyak laki-laki yang menyerah pada tekanan dalam hal mendefinisikan apa yang membuat seorang laki-laki jantan, yang kadang sekecil masalah memakai syal atau tidak, atau mengungkapkan perasaan yang bahkan kadang seperti menolak sifat asli mereka. Aku merasa lebih ringan dibandingkan dengan mereka yang hidup dalam baying-bayang standar nilai maskulin yang menempatkan mereka dalam bahaya yang juga dapat member efek pada orang-orang di sekitar mereka.
Pelajari maskulinitas lebih lanjut di Seribu Tujuan