Stigma dan diskriminasi LGBTQ+
Budaya memerankan bagian yang besar pada bagaimana kehidupan seseorang di dlaam masyarakat dan hal ini menjadi halangan bagi komunitas LGBTQ+ untuk hidup di Indonesia. Ada berbagai stigma yang menentang komunitas LGBTQ+ yang kemudian diikuti dengan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi yang menentang orang LGBTQ+ bisa beragam dari posisi sosial, ekonomi, dan agama dalam masyarakat.
Perwujudan stigma dan diskriminasi ini juga beragam dari seberapa kuat atau lemahnya ekskresi orientasi seksual dan identitas gender mereka. Orang yang bisa mengekspresikan penampilan yang tidak sesuai dengan gender lebih banyak akan mengalami gangguan, ancaman, kekerasan, perundungan dan diskriminasi yang lebih parah pula dibandingkan dengan mereka yang sesuai dengan gender. Hal ini seringkali diekspresikan melalui bagaimana cara mereka berpakaian, berperilaku, intonasi bicara dan karakteristik lain yang gagal memenuhi norma sosial dari bagaimana seharusnya pria dan wanita.
Berikut adalah beberapa stigma dan diskriminasi yang sering diterima komunitas LGBTQ+ dari ruang lingkup yang berbeda di Indonesia:
- Keluarga
Di Indonesia, kebanyakan pandangan bisa dibangun di atas gagasan pernikahan heteroseksual untuk membentuk sebuah keluarga (heteronormativitas) yang mana heteroseksualitas dianggap “normal” dan homoseksualitas dianggap “abnormal”. Hal ini juga membentuk stigma bahwa orang LGBTQ “tidak normal” dan mereka harus “dinormalkan”. Dalam beberapa hal, orang LGBT yang memutuskan untuk membeberkan orientasi seksual dan identitas gender mereka disingkirkan sama sekali dari keluarga mereka. Pemisahan ini juga memberikan kesulitan yang lain seperti kesulitan untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tidak memiliki KTP membuat seseorang sulit mencari pekerjaan dan mendapatkan layanan publik seperti SIM dan asuransi kesehatan dari pemerintah yang dikelola oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). - Tempat kerja
Diskriminasi terhadap LGBTQ+ dapat juga terjadi di tempat kerja. Banyak transgender yang mengalami diskriminasi saat mencari kerja yang sering memicu keputusasaan dan terpaksa memilih untuk menjadi pekerja seks. Tidak hanya kesulitan yang harus LGBT hadapi dalam mencari pekerjaan, tapi juga diskriminasi yang mereka terima saat bekerja. Orang LGBT di Indonesia mungkin menghadapi waktu yang berat untuk mendapatkan akses pekerjaan, pelatihan dan promosi, dan bahkan akses keamanan sosial seperti perawatan kesehatan, asuransi kesehatan, hak pensiun dan keuntungan yang lain. Bagaimanapun, Indonesia mengamandemen UUD 1945 untuk melindungi hak atas pekerjaan, jaminan dan upah yang sesuai, dan perlakuan adil dalam hubungan kerja. Instrumen hukum yang lain seperti Human Right Act (Undang-Undang hak asasi manusia Britania Raya) menyediakan tindakan hukum yang protektif melawan diskriminasi pekerja. - Agama
Homoseksualitas bukanlah hal yang ilegal atau kriminal di Indonesia, tetapi wilayah yang memegang teguh norma agama percaya bahwa homoseksualitas adalah ancaman moral. Aceh sebagai bagian daerah semi otonomi di Indonesia yang mengikuti hukum syariah juga percaya bahwa homoseksualitas adalah pengaruh yang buruk untuk generasi muda. Berita yang kontroversial di Aceh pada 2016 lalu ketika polisi menemukan penduduk transgender yang bekerja di salon, mereka mempermalukan transgender tersebut di publik, mencukur rambut dan memaksa mereka untuk mengenakan pakaian yang “maskulin”. Stigma lain mengatakan bahwa orang LGBT terpengaruh oleh setan yang memicu kelainan kesehatan dan berujung pada kebiasaan LGBT. Beberapa orang percaya bahwa setan dapat diusir dengan ritual keagamaan seperti “ruqyah” yang menggunakan pembacaan ayat Al-Qur’an.
Mencari Dukungan
Mencari informasi dan perlindungan tentang LGBTQ di Indonesia bisa menjadi hal yang menantang. Sebagaimana yang sudah banyak orang ketahui bahwa komunitas LGBTQ+ menghadapi diskriminasi yang parah dan ditolak oleh banyak orang di negara ini. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwa ada setidaknya 3 juta lesbian, gay dan transgender di Indonesia. Berdasarkan forum LGBT Indonesia, ada 47 kasus kekerasan terhadap gay yang dilaporkan.
LGBT sepertinya menjadi hal yang sulit, terutama di Indonesia. Meskipun keluarga adalah unit terdekat yang kita punya, ada beberapa kemungkinan yang harus kita hadapi ketika menyinggung LGBTQ+. Ketika kamu ingin menunjukkan identitas gender dan orientasi seksualmu, penting bagimu untuk merasa aman dan nyaman saat melakukannya. Kamu bisa mulai dengan mengakuinya pada orang terdekatmu.
Sejak akhir 1960-an, LGBT Indonesia membentuk advokasi pertama bernama “Himpunan Wadam* Djakarta” (HIWAD) yang merupakan asosiasi transgender wanita. Di Indonesia, orang yang melakukan transgender pada umumnya lebih banyak diakui dan dikenali sebagai lesbian, gay atau biseksual. Kemudian pada 1985 kelompok gay dari Yogyakarta mendirikan “Persaudaraan Gay Yogyakarta” (PGY) dan merubah namanya pada 1988 menjadi “Indonesian Gay Society” (IGS). Sejak saat itu, semakin banyak orang LGBT yang mengikuti pergerakan ini untuk membangun lebih banyak komunitas.
Meskipun Indonesia masih belum memiliki peraturan hukum untuk melindungi komunitas LGBT dari diskriminasi dan tindakan kriminal, masih ada beberapa organisasi dan komunitas yang akan memberikan perlindungan untuk LGBT di Indonesia. Mencari perlindungan dengan mengikuti sebuah komunitas dapat membantu mengurangi rasa kesepian.
Berikut adalah beberapa organisasi dan komunitas yang dapat diikuti untuk mendapatkan perlindungan:
- Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
- Arus Pelangi (Organisasi Non-Profit dan Non-Pemerintah, federasi nasional untuk LGBTQ di Indonesia dan didirikan pada 2006)
- LGBTQ Forum Indonesia
- OutRight Action International (Organisasi Non-Pemerintah LGBTQ Internasional)
* Wadam: istilah untuk “wanita adam”